Fakta-Fakta Menggelitik
Topic: Relawan
Fakta-Fakta Menggelitik yang kami temui sepanjang perjalanan kami ke Aceh dan Sumatera Utara:
Sepanjang perjalanan kami banyak fakta-fakta yang kami lihat, kami dengar dari para keluarga dan korban yang mungkin bisa kita pelajari lebih lanjut, dianalisa, dan menjadi bahan pertimbangan kita untuk bergerak ke depan :
1. Penyerahan `otonomi' kepada mereka yang mempunyai fasilitas.
Pada hari pertama kami datang ke bumi NAD, terlihat bahwa semua keputusan ada di tangan militer dan pemerintahan sementara (satkorlakpus dan satkorlakda), baik penyimpanan dan pendistribusian logistic, pusat informasi, penyeleksian pengungsi,dll. Hal ini bisa dimaklumi mengingat semua fasilitas dan pemerintahan Aceh yang lumpuh total, dan hanyalah Pangkalan Militer AU yang masih mempunyai koordinasi dan tempat yang layak. Para Relawan ada yang sudah datang, namun belum banyak dan tampaknya pun belum bisa berbuat banyak karena tidak adanya fasilitas, semua bergantung pada militer dan beberapa pesawat militer asing (waktu itu masih Singapura). Hal ini menyebabkan logistic bertumpuk begitu banyaknya di gudang, dan prosedur pendistribusian logistic pun sulit dan berbelit-belit.
Malam itu, semua berubah. Logistik boleh dan bisa didistribusikan kemanapun bahkan sampai ke kelurahan2 terkecil dengan catatan diantarkan oleh truk relawan sendiri. Gudang pun berkurang sampai 40%. Para Relawan tinggal mengkoordinasikan daerah2 mana yang sudah diberi logistic.
Hal ini juga menyebabkan kami tertunda di Bandara Sipil SIM selama hampir 10 jam, karena para tentara militer Negara asing pun berhak memilih dan memasukkan sendiri para pengungsi2 itu. Jadi mirip antrian bioskoplah, siapa cepat dia dapat, biasanya yang sakit2 diprioritaskan dulu. Jadi tak tegalah kami bersaing dengan pengungsi2 itu, maka kami pun memilih penerbangan sipil yang tertunda-tunda terus.
Jadi para relawan yang mempunyai fasilitas lengkap seperti truk, pesawat, dapur umum dll terlihat langsung bergerak keliling kota.
Karena medan yang berat, banyaknya pekerjaan, dan sedikit yang bekerja, akhirnya otoritas itu diabaikan (meskipun masih dalam koordinasi yang menurut saya wajarlah) dan kemanusiaanlah yang diutamakan.
2. Tentang GAM
Kami pun mendengar banyak issue mengenai GAM yang berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan. Misalnya bahwa issue penjarahan itu dibuat oleh oknum GAM yang akan mengkorek2 senjata yang tercerai berai (tapi, mau cari di sudut yang mana kalau satu kota puing semua? ) Atau bahwa mereka merampas makanan, dll, maka itu militer tadinya bersikeras agar semua koordinasi masih tetap mereka tangani. Tapi karena terbatasnya daya mereka, akhirnya masalah GAM juga bukan menjadi issue yang terlalu ditakutkan lagi namun tetap diwaspadai. Iring2an logistic di jalan pun kini tidak lagi terhambat, dan banyak relawan pun pasrah, kalau benar dirampas GAM ya berikan sajalah, toh mereka pun manusia...
3. Bantuan yang dijual
Masalah ini juga yang menjadi salah satu factor logistic `takut' untuk dibagikan, `nanti dijual', katanya.. Memang ironis, saat yang lain butuh makanan yang dibagikan gratis, kok tega2nya ada yang menjual logistic gratis yang dibagikan. Tapi yang kami coba amati di lapangan, mereka yang menjual pun korban juga, dan uangnya mau buat beli tiket ke medan, ataupun untuk bekal karena mereka sudah habis2an tidak punya apa2 lagi. Dan yang dijual pun sedikit, paling2 muat ditata dalam satu meja ukuran anak sekolah dasar. Jadi hal2 demikian tidak perlu dimasalahkan, kalau ada yang korupsi sekalipun, biarlah menjadi urusan pribadinya dengan Tuhan YME.
4. Sulitnya keluar dari Aceh
Terus terang kami masih kaget waktu kami tiba di Aceh, karena walaupun sudah menyiapkan tubuh, jiwa, pikiran akan kemungkinan yang paling buruk, ternyata yang kami lihat benar2 sangat mengagetkan. Walaupun sudah berangkat dengan informasi yang kami dapat dari media, internet, koordinasi dengan LSM lain, dll ternyata informasi yang kami bawa hanya 30% dari kenyataan di lapangan. Hal ini juga yang membuat kami sulit keluar dari Aceh untuk koordinasi dan meneruskan pengiriman bantuan yang ada di Medan. Kami sulit mencari `tebengan' pesawat, tidak ada mobil umum, bisa sewa mobil tapi mahal sekali dan tidak ada supir yang mau , waktu itu juga belum ada sinyal telpon,< SPAN style="mso-spacerun: yes"> Bahkan ke bandara sipil pun harus jalan kaki. Jadi kami menunggu sabar di bandara sipil untuk mendapatkan tiket yang antri selama 2 jam, beli tiket jam 09.00, bisa berangkat jam 17.00, tapi kami lega, yang penting dapat tiket! Jadi kami keliling2 sekitar bandara cari informasi lagi, setelah jam 17.00 kok belum berangkat? "Penuh! Nggak bisa landing di Polonia, jadi tunggu saja.." begitu kata bagian informasi, jadi kami pun menunggu sampai akhirnya jam 22.00 pesawat datang.
5. Rebutan Korban
Para Relawan yang tergabung dalam group besar memang datang dengan persiapan full. Apalagi yang dari luar negeri (walaupun ada beberapa yang datang dengan gagah, tapi pulang lagi setelah melihat medan yang berat) mereka datang dengan tenda yang cantik, truk2 kontainer besar, pesawat carteran, dapur umum, handphone satelit, parabola, laptop dan internet, dll. (ini memang mutlak diperlukan kalau mau mobile dan efektif). Tim medisnya pun rapih dan bersih. Ternyata yang melihat fakta ini bukan kami saja, bahkan korban pun bisa melihatnya! Ada seorang ibu yang cedera kakinya dan harus dioperasi lebih memilih ditangani oleh relawan asing dan tidak mengerti bahasanya, dibanding oleh relawan local yang memang pas-pasan fasilitasnya. Insiden ini pun menimbulkan kecemburuan social, `memangnya kami nggak bisa??" kata salah seorang relawan lokal dengan raut wajah kesal, apalagi relawan asing juga terlihat eksklusif karena sibuk sendiri dan tidak berbaur ( ternyata ini salah satunya dikarenakan factor bahasa...)
6. Terlambat... atau nasib?
Kami pun melihat satu kejadian yang sangat mengharukan. Pagi2 seorang ibu mendatangi kami minta tolong agar suaminya diprioritaskan naik pesawat ke medan karena darah sudah mulai masuk ke paru2. Setelah kami bicarakan, akhirnya bapak yang sudah diinfus darah itu pun naik ke pesawat. Ternyata dia sudah menunggu antrian pesawat semalaman, tapi batal berangkat karena tidak bisa mendarat di Polonia Medan. Tapi sesampainya di dalam pesawat, bapak ini menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal di pesawat Hercules Australia yang sekiranya langsung terbang ke Medan.
7. Relawan baik hati yang jadi pengungsi
Kami bertemu dengan banyak relawan yang mempunyai semangat besar. Mereka umumnya datang sendiri2 dengan atau tanpa membawa bendera institusi. Tapi seperti kami, mereka pun kaget melihat fakta di lapangan. Praktis mereka tidak bisa mengerjakan apa2, mau ke Aceh tidak ada mobil, mau ke pengungsi tidak ada truk, bekal pun lama2 habis. Akhirnya justru mereka jadi sama dengan para pengungsi, tidur di lapangan bandara menunggu giliran terbang dan minta jatah logistic dari posko di bandara.
8. Tour Bencana
Fakta ini yang juga terlihat mengesalkan banyak pihak. Medan yang berat telah membuat banyak orang yang datang tanpa persiapan pulang kembali. Ada yang balik lagi, ada yang memang betul2 pulang merasa tidak sanggup. Hal ini menyebabkan pemandangan yang sangat menyebalkan di mata pengungsi, tentara, bahkan relawan sendiri. Saat mereka sedang sedih dan capek berusaha membenahi kota dengan daya yang sedikit, orang datang melihat-lihat, foto-foto lalu pergi. Tapi ini pun tidak bisa disalahkan. Diantara mereka ada yang betul2 cari informasi bagaimana keadaan di Aceh, lalu baru koordinasi untuk masuk ke lapangan, daripada masuk tanpa tahu medan justru lebih berbahaya. Namun kami juga maklum perasaan mereka yang sedang lelah melihat orang lain yang seolah2 tour ke Aceh melihat bencana. Itulah mengapa sekarang banyak himbauan untuk tidak datang bila tidak punya alat berat, alat angkut, dan fasilitas, setidaknya yang mencukupi diri sendiri.
9. Pengumuman PKS tentang adopsi anak
Kami juga menemukan fakta (foto2 tersedia) yang menarik seputar larangan adopsi anak yang mengatasnamakan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ditempel di pintu masuk Bandara Sipil. Bunyinya kurang lebih seperti ini : "Kami Siap menampung anak yatim piatu korban bencana alam Aceh Sumut untuk disekolahkan menjadi anak yang berguna, jangan diserahkan kepada kaum kafir (Kristen/misionaris)". Sungguh menggelitik. Bahkan dicantumkan DPP Pusat dan Daerah yang memutuskan hal itu. Masalah ini sempat menjadi issue yang panas dibicarakan dan sempat membuat banyak orang marah. Konfirmasi2 dilakukan, saling cross check dan saling menenangkan mereka yang kesal. Kabar terakhir katanya DPP PKS Pusat tidak mengakui hal itu. Berarti telah ada provokasi yang mulai merebak di NAD.
10. Isue perdagangan anak
Isue ini juga merebak di kalangan pos2 pengungsi, bahkan stasiun TV meliput khusus tentang hal ini. Walaupun kami belum pernah bertemu langsung dengan mereka yang dicurigai sebagai penadah anak, tapi kami mencermati bahwa hal ini perlu dicermati juga, benar dan tidaknya sama2 merugikan. Bila benar sangat berbahaya, bila tidak berarti ada yang menebar issue untuk meresahkan para pengungsi.
11. Ini adalah hukuman Allah
Banyak jeritan tangis dan keluhan yang menyatakan ini adalah hukuman Allah. Hal ini pun bisa kami mengerti karena para korban menanggung beban yang sangat berat dan tidak bisa berpikir lain selain membayangkan Tuhan yang sedang marah dan membiarkan semua ini terjadi. Di benak banyak korban hanyalah tanda tanya besar, mengapa ini terjadi? Mengapa saya? Mengapa Aceh? Hal itu yang terus menerus memenuhi pikiran mereka. Yang menarik adalah reaksi dari usaha mencari jawaban itu. Dari obrolan yang kami lakukan dengan beberapa orang, bahkan diantaranya adalah pemuka agama, mereka mengatakan bahwa kita semua harus bertobat (kalau ini saya sih setuju), Aceh adalah serambi Mekkah yang menjalankan syariat Islam. Tapi mengapa masih banyak unsur-unsur lain yang tidak menjalankan Syariat Islam dibiarkan bercokol di Aceh? Jadi individu2 tadi membakar wihara dan toko orang tionghoa (yang sebetulnya sudah rusak juga diterjang tsunami) dengan alasan mereka membawa sial.
12. Fakta bahwa mayoritas Tionghoa Aceh pun menjadi korban
Tidak terpikir sebelumnya akan hal ini di benak kami, mungkin karena Aceh sangat kental dengan symbol Islamnya, sampai kami mengunjungi Peunayong dan Lhok Nga yang adalah `china town' nya Aceh. Daerah ini mirip dengan kawasan kota di Jakarta, yang identik dengan pusat perdagangan dan dihuni oleh mayoritas warga keturunan tionghoa. 70% perputaran uang di Aceh terjadi di wilayah ini dan masyarakat pribumi Aceh pun menyadari bahwa daerah ini menunjang perekonomian seluruh Aceh. Peunayong dan Lhok Nga hancur total, bisa dibilang hampir rata dengan tanah karena letaknya yang dekat dengan bibir pantai. Daerah ini kira2 5 km dari pantai dan belum sempat dibersihkan dengan buldoser. Jadi tumpukan kayu, puing, dan (tentu) mayat masih setinggi setengah sampai 1 m. Dan di dalam ruko2 yang berjejer di kawasan itu pun diyakini mayat2 menumpuk. Dan ini adalah orang2 Indonesia beretnis tionghoa.
Kami pun bertemu dengan para pengungsi etnis tionghoa itu. Tidak ada bedanya dengan pengungsi lain, tatapan mata kosong karena keluarga menjadi korban dan harta habis dalam hitungan menit. Mereka pun jatuh miskin dan tinggal di penampungan.
13. Isue diskriminasi, penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan
Bertubi2 SMS kami terima tentang kabar ini, sebagian di Aceh, tapi makin banyak setibanya kami di Medan. Kami sendiri heran karena di lapangan kami tidak mendengar kabar atau bertemu dengan mereka yang jadi korban perkosaan. Bahkan kesaksian dari Ibu Esther yang selamat dari Meulaboh, dia diperlakukan sangat baik oleh orang pribumi yang ada di gunung. Orang itu turun gunung membawa uang Rp. 1,5 jt untuknya (yang dia tolak karena dia memilih makanan saja), dia ditampung di rumah seorang pribumi yang tidak kena bencana, makan dan minum yang sama, juga tidur di tempat yang sama. Ibu Ester sekarang membuka jalan dan posko bantuan di Meulaboh.
14. Kaum kafir yang Najis
Memang ada juga kesaksian dari seorang Romo gereja Katolik Hati Kudus yang juga sangat tragis kita dengar. Romo ini selamat dari bencana, keesokan harinya ia berjalan2 mencari jemaatnya di antara puing2 kota. Bertemulah ia dengan seorang lelaki tionghoa yang hendak mengangkut mayat istri dan anaknya dari dalam ruko. Lelaki ini tidak bisa meminta pertolongan siapapun karena orang yang lewat tidak mau menyentuh mayat orang kafir yang najis, maka ia minta Romo mendatangi tempatnya, memberikan doa kematian dan ia pergi meninggalkan mayat istri dan anaknya disana. Ada juga yang mengatakan untuk mengangkut mayat saja dikenakan bayaran Rp. 650.000- Rp. 1.000.000,- Tapi ini dialami tidak saja oleh orang minoritas, tapi juga orang pribumi.
15. Isue ekslusivisme kaum Tionghoa
Setibanya kami di Medan, kami sampai di Posko Metal V yang secara kebetulan mayoritas pengungsinya adalah etnis tionghoa. Mengapa kebetulan? Karena kawasan jalan metal adalah kawasan bekas pengungsi aceh tahun 1960-an yang hijrah ke medan karena terkena kebijakan pp 10 saat itu. Jadi semua pengungsi tsunami aceh langsung berpikir untuk tinggal di jalan Metal. Karena banyaknya orang padfa h+1 dan h+2, posko pun langsung dibentuk malam itu juga. Posko Metal pun bekerjasama dengan Aceh Sepakat, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PDS (Partai Damai Sejahtera), Kodam, dll. Ada insiden sewaktu kawan2 pungungsi lain minta bantuan tempat, Posko Metal yang sudah terlalu penuh menyatakan bisa menampung, tapi di Wihara. Pengungsi saat itu tidak menolak, namun kemudian hal ini menjadi urusan panjang ketika ada pihak2 yang langsung menuduh ketidaksopanan Posko Metal yang menempatkan mereka ditempat kafir, issue pun berkembang bahwa Posko Metal identik dengan tionghoa dan menolak kehadiran etnis lain. Hal ini tidak kami lihat sepanjang pengamatan kami. Korban yang berjilbab pun terlihat walaupun jumlahnya tidak banyak, posko ini juga berkoordinasi dengan lembaga Islam lainnya dalam menyalurkan sumbangan, dll.
Fakta2 kecil yang kami temui di atas sangatlah menarik. Memang ada insiden2, tapi kami melihat bahwa kebersamaan yang tumbuh di Indonesia sungguh luar biasa. Kejadian ini setidaknya telah kembali menimbulkan rasa kebersamaan yang sudah mulai hilang beberapa tahun ini. Semua suku, etnis, agama dan golongan bersatu padu untuk membangun Aceh kembali.
Mengenai insiden atau isue2 yang berkembang bahkan yang mengatakan untuk menghentikan sumbangan ke Aceh, menurut pandangan kami SANGATLAH TIDAK ETIS DAN TIDAK PADA TEMPATNYA! Karena mengapa kita harus berhenti berbuat baik demi kemanusiaan hanya karena issue yang tidak jelas asal usulnya? Insiden2 itu tidak layak kita pikirkan, yang perlu kita pikirkan adalah mereka yang susah payah menyambung hidup di tempat2 pengungsian. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kita membantu membangun kembali Aceh. Namun demikian kita juga tidak menutup mata, bahwa di level horizontal, dampak sosial yang terjadi dari bencana ini sungguhlah banyak dan menjadi salah satu tugas kita sebagai bagian bangsa ini untuk turut peduli
ulung,lisa,eric(Posko Perhimpunan Inti Jakarta di Aceh/Medan).
Posted by prasetyocm
at 4:41 PM EST